Rabu, 25 Maret 2015

Secercah Penjelasan tentang Aqidah Iman Asy’ari




Sebelum memasuki inti dari pembahasan  ini, alangkah indah dan baiknya, terlebih dahulu kita mengenal nama dan kuniyah serta gelar dari Sang Imam Ahlusunnah Waljama’ah. Didalam kitab Al-wasit  Fi Aqo’id  Al-imam Asy’ary  yang dikarang oleh cendikiawan muslim Baghdad  Shaik Syahid Ahmad Mukhlis Al-rawi, bahwa nama Imam Asy’ari  adalah  Ali bin Ismail bin Abu Bisyr, kuniyah beliau  Abul Hasan , dan sedangkan gelar-nya adalah  Al-Asy’ari, yang dinisbahkan kepada salah satu sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasllam, yaitu  Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu ‘anhu. Dan sebagaimana yang telah sama-sama kita ketahui bahwa, Imam Asy’ari dikenal sebagai sebagai seorang Mutakallim yang handal dan sangat luar biasa, yang membentengi Aqidah umat Islam dari pemahaman-pemahaman yang telah menyimpang dari ajaran Islam yang suci, sehingga sangat pantas dan layak, bila ajaran serta konsep yang dilahirkan oleh Imam Asy’ari, menjadi panutan serta pegangan bagi seluruh umat Islam dunia, karena sesungguhnya beliau bukanlah menciptakan ajaran baru dalam Islam, namun sebaliknya beliau hanya memperkokoh dan memperkuat ajaran-ajaran Salaf al-shaleh. Beliau lahir pada tahun  260 H di Bashrah, Irak. Namun ada juga yang mengatakan tahun 270 H, ini tentunya disana ada perbedaan pendapat diantara Ahli sejarah dan Ulama, dan pendapat yang dikuatkan oleh Al-hafiz ibnu Asaakir RH, tahun 260 H, begitu juga hal-nya tentang tahun wafatnya Imam Asy’ari Rahimahullah, meskipun ada perbedaan pendapat, namun pendapat yang kuat dan mu’tamad bahwa, beliau wafat di Baghdad tahun 324 H.
Penulis mengutip keterangan dari sebuah kitab yang berjudul أهل السنة الأشاعرة شهادة علماء الأمة  وأدلتهم    Yang dikarang oleh Shaik حمد السنان  فوزي العنجري   bahwa Aqidah Imam Asy’ari tidak berbeda alias sama persis dengan Aqidahnya Para Imam Madzhab, seperti aqidahnya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Abu Hanifah beserta para ashaabnya. (terjemah bebas)
Dan tentunya ini menunjukan bahwa aqidah Imam asy’ari sejalan dengan aqidahnya salafu al-shaleh serta ahli ilmu,  dari zaman kezaman hingga sampai diera globalisai yang serba canggih realita sekarang ini.

Dan tentunya, ketika bebicara tentang Imam Asy’ari, sudah tidak asing lagi ditelinga bagi mereka yang mendengar, melihat dan berpikir, adalah bahwa Imam Asya’ari imamnya Umat Islam mayoritas dari zaman kezaman, masa ke masa di Indonesia, Mesir, serta Negara-negara lainnya didunia yang fana ini. Termaktub dalam kitab     شرح الخريدة البهية  halaman 35, disebutkan bahwa  Shaikh al-Islam  Al’izzu bin Abdissalaam, Dan Ibnu Hajib beserta Ulama-ulama kibar lainnya, menyatakan aqidah Imam Asy’ari dianut oleh para Pengikut Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan  pembesar-pembesar hanabilah kecuali yang sadz diantara mereka. Ini sejalan dengan keterangan yang penulis paparkan sebelumnya.  Dan diantara pembesar dan pengikut Imam Abul Hasan Asy’ri, seperti  Imam Baqilani,  Abu Ishak al-sayrazi,  Imam Al-ramain, Hujjatu al-Islam Alghazali, Imam Subki, Imam Nawawi, Rafi’I , Amirul mu’minin dalam hadist Ibnu Hajar  asqolaani dan haitami, serta Imam suyuti rahimahumullahu ajma’in dan lain sebagainya yang tidak bisa satu persatu penulis tuliskan, dikarenakan banyaknya jumlah pengikut Imam Asy’ari, dan mereka semua adalah para ahli ilmu dan orang-orang yang sholeh.



Menurut sependek pengetahuan Penulis, bahwa ketika membahas tentang Aqidah didalam beragama, tentu ini berkaitan dengan konsekwensi hukum yang berlaku, kalau misalnya, hukum dalam permasalahan seputar Fiqih hanya berupa wajib, sunnah, makruh dan mubah serta lain sebagainya, maka berbeda dengan permasalahan aqidah, hanya ada dua hukum dalam aqidah, yaitu Iman dan Kafir, karena aqidah adalah  usulluddin atau dasar agama yang tidak boleh salah dalam berkeyakinan atau ada keraguan, mesikupun 1%  dari 100 %, berbeda dengan hal-nya mengenai Fiqih,  jika salah maupun benar , hanya berkaitan dengan dosa, pahala, serta fasiq namun tetap masih dalam golongan umat Islam dan tidak sampai kafir yang nanti kekal dineraka-Nya. Dan tentunya, tidak serta merta kita harus tergesa-gesa mengkafirkan seseorang atau golongan, kelompok dalam aqidah, dikarenakan tidak sejalan dan sepaham dengan keyakinan yang telah kita yakini,  Pengkafiran dalam Aqidah, ada dalam perkara yang dhoruri atau yang Qoth’iyaat,  sebagai contoh, ada seseorang yang tidak meyakini Allah Subhanahu Wata’aalaa itu bukanlah  Tuhan Pencipta alam beserta isinya,  dan tidak beriman bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wasallam utusan Allah Subhanahu Wata’aalaa, serta mengingkari rukun Islam yang lima, dan lain sebagainya yang sifatnya dharury.
Nah, sedangkan permasalahan yag sifatnya bukan dharuri, seperti  istidlalnya para Ulama dan ahli ilmu  dalam menyikapi ayat-ayat sifhat (khabariyah)  didalam Alquran, tentu ini harus membutuhkan kehati-hatian menyimpulkan serta menghukuminya, maka penulis sengaja membatasi pembahasan kali ini, hanya seputar perbedaan pendapat antara Asy’ari dan Salafi dalam konteks aqidah Islamiyah yang terkhusus kepada ayat-ayat Shifat (khabariyah). Untuk kali ini, penulis akan menuliskan  methode Imam Asy’ari dalam menyikapi ayat-ayat shifat ataupun khabariyah dalam Alquran.

Ada dua methode Imam Asy’ari dalam menetapkan ayat-ayat shifat (khabariyah).

Pertama :  Tafhwidh, dan ini selaras dengan pendapat ‘ulama Salaf,
Kedua       : Ta’wil, ini sejalan dengan pendapat ‘ulama Khalaf

Perlu diperhatikan, Tidak semua ‘ulama salaf itu selalu menggunakan method tafhwidh  dalam permasalahan ayat-ayat shifat  (khabariyah),  sehingga bisa dikatakan bahwa ulama salaf  itu selalu tafhwidh, karena terkadang, ada juga diantara ‘ulama salaf  yang menta’wil, dan begitu juga sebaliknya, tidak semua ‘ulama khalaf itu menggunakan methode ta’wil, karena ada juga diantara ‘ulama khalaf memilih tafhwidh dalam permasalahan seputar ayat-ayat shifat. Maka oleh karena itu, boleh dikatakan, bahwa mayoritas ‘ulama salaf itu menggunakan tafhwidh, dan sedangkan ‘ulama khalaf, mayoritasnya menggunakan ta’wil.
Dan  terdapat banyak ulama yang menyebutkan, bahwa imam asy’ari mempunyai dua metodhe, dan ini sejalan dengan pendapat  para ‘ulama-ulama asya’irah, seperti Qhadi baqilani yang disebut sebagai Mu’assis kedua asya’irah, yang beliau ada menfwidh ayat-ayat shifat ataupun khabariyah, seperti dalam kitabnya al-inshof, beliau ada metakwil ayat istiwa denga istilaa’ yang berarti menguasai bukan menetap apalagi bersemayam, serta sebagaiman buku yang penulis baca, ditemukan  ada perkataan Imam Baihaqqi menyatakan, bahwa Imam Asy’ari mentakwil ayat istiwa’ dengan sifat perbuatan (fi’lun), tentu ini sangat jauh sekali dari makna yang sesungguhnya seperti menetap, bersemayam, duduk, dan lain sebagainya menurut makna dzhohirnya.

Mungkin untuk sementara, saya cukupkan sampai disini pembahasan mengenai methode Imam Asy’ari, karena terlalu panjang dan sangat luas pembahasan ini, jadi penulis hanya meringkas seringkas ringkasnya, dan tentunya bisa dikembangkan dalam diskusi nantinya.
Sebelum penulis tutup pembahasan diatas, mari kita simak kalamnya Imam Al-idzi shohibu al-mawaakif, mawaakif salah satu kitab muthawalat dan mu’tamad yang dikaji dimesjid Al-azhar oleh Shaikh Al-mutakallim Hasan syafi’i


يقول الإمام الإيجي رحمه الله :   لما وصف تعالى بالاستواء في قوله تالى : الرحمن على العرش استوى  (طه :5 )

اختلف الأصحاب فيه : فقال الأكثرون : هو الاستيلاء , ويعود الاستواء حينئذ إلى صفة القدرة . قال الشاعر :

فد استوي بشر على العراق                    من غير سيف ودم مهرا ق                                                    

        وقال الأخر :                                                                                                                      

فلما علونا واستوينا عليهم          تركناهم صراعى لنسر وطائر

Tidak ada komentar:

Posting Komentar