Sebelum memasuki inti dari pembahasan ini, alangkah indah dan baiknya, terlebih
dahulu kita mengenal nama dan kuniyah serta gelar dari Sang Imam Ahlusunnah
Waljama’ah. Didalam kitab Al-wasit Fi
Aqo’id Al-imam Asy’ary yang dikarang oleh cendikiawan muslim
Baghdad Shaik Syahid Ahmad Mukhlis
Al-rawi, bahwa nama Imam Asy’ari adalah Ali bin Ismail bin Abu Bisyr, kuniyah
beliau Abul Hasan , dan sedangkan
gelar-nya adalah Al-Asy’ari, yang
dinisbahkan kepada salah satu sahabat Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasllam,
yaitu Abu Musa Al-Asy’ari Radhiyallahu
‘anhu. Dan sebagaimana yang telah sama-sama kita ketahui bahwa, Imam Asy’ari
dikenal sebagai sebagai seorang Mutakallim yang handal dan sangat luar biasa,
yang membentengi Aqidah umat Islam dari pemahaman-pemahaman yang telah
menyimpang dari ajaran Islam yang suci, sehingga sangat pantas dan layak, bila
ajaran serta konsep yang dilahirkan oleh Imam Asy’ari, menjadi panutan serta
pegangan bagi seluruh umat Islam dunia, karena sesungguhnya beliau bukanlah
menciptakan ajaran baru dalam Islam, namun sebaliknya beliau hanya memperkokoh
dan memperkuat ajaran-ajaran Salaf al-shaleh. Beliau lahir pada tahun 260 H di Bashrah, Irak. Namun ada juga yang
mengatakan tahun 270 H, ini tentunya disana ada perbedaan pendapat diantara
Ahli sejarah dan Ulama, dan pendapat yang dikuatkan oleh Al-hafiz ibnu Asaakir
RH, tahun 260 H, begitu juga hal-nya tentang tahun wafatnya Imam Asy’ari
Rahimahullah, meskipun ada perbedaan pendapat, namun pendapat yang kuat dan
mu’tamad bahwa, beliau wafat di Baghdad tahun 324 H.
Penulis mengutip keterangan dari sebuah kitab yang berjudul أهل السنة الأشاعرة شهادة علماء الأمة وأدلتهم Yang dikarang oleh Shaik حمد السنان
فوزي العنجري bahwa
Aqidah Imam Asy’ari tidak berbeda alias sama persis dengan Aqidahnya Para Imam
Madzhab, seperti aqidahnya Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Syafi’i, Imam Malik,
Imam Abu Hanifah beserta para ashaabnya. (terjemah bebas)
Dan tentunya ini
menunjukan bahwa aqidah Imam asy’ari sejalan dengan aqidahnya salafu al-shaleh
serta ahli ilmu, dari zaman kezaman
hingga sampai diera globalisai yang serba canggih realita sekarang ini.
Dan tentunya, ketika
bebicara tentang Imam Asy’ari, sudah tidak asing lagi ditelinga bagi mereka
yang mendengar, melihat dan berpikir, adalah bahwa Imam Asya’ari imamnya Umat
Islam mayoritas dari zaman kezaman, masa ke masa di Indonesia, Mesir, serta
Negara-negara lainnya didunia yang fana ini. Termaktub dalam kitab شرح الخريدة البهية halaman 35, disebutkan bahwa Shaikh al-Islam Al’izzu bin Abdissalaam, Dan Ibnu Hajib
beserta Ulama-ulama kibar lainnya, menyatakan aqidah Imam Asy’ari dianut oleh
para Pengikut Syafi’iyah, Malikiyah, Hanafiyah dan pembesar-pembesar hanabilah kecuali yang sadz
diantara mereka. Ini sejalan dengan keterangan yang penulis paparkan
sebelumnya. Dan diantara pembesar dan
pengikut Imam Abul Hasan Asy’ri, seperti
Imam Baqilani, Abu Ishak
al-sayrazi, Imam Al-ramain, Hujjatu
al-Islam Alghazali, Imam Subki, Imam Nawawi, Rafi’I , Amirul mu’minin dalam
hadist Ibnu Hajar asqolaani dan haitami,
serta Imam suyuti rahimahumullahu ajma’in dan lain sebagainya yang tidak bisa
satu persatu penulis tuliskan, dikarenakan banyaknya jumlah pengikut Imam Asy’ari,
dan mereka semua adalah para ahli ilmu dan orang-orang yang sholeh.
فلما
علونا واستوينا عليهم تركناهم
صراعى لنسر وطائر
Menurut sependek
pengetahuan Penulis, bahwa ketika membahas tentang Aqidah didalam beragama,
tentu ini berkaitan dengan konsekwensi hukum yang berlaku, kalau misalnya,
hukum dalam permasalahan seputar Fiqih hanya berupa wajib, sunnah, makruh dan
mubah serta lain sebagainya, maka berbeda dengan permasalahan aqidah, hanya ada
dua hukum dalam aqidah, yaitu Iman dan Kafir, karena aqidah adalah usulluddin atau dasar agama yang tidak boleh
salah dalam berkeyakinan atau ada keraguan, mesikupun 1% dari 100 %, berbeda dengan hal-nya mengenai
Fiqih, jika salah maupun benar , hanya
berkaitan dengan dosa, pahala, serta fasiq namun tetap masih dalam golongan
umat Islam dan tidak sampai kafir yang nanti kekal dineraka-Nya. Dan tentunya,
tidak serta merta kita harus tergesa-gesa mengkafirkan seseorang atau golongan,
kelompok dalam aqidah, dikarenakan tidak sejalan dan sepaham dengan keyakinan
yang telah kita yakini, Pengkafiran
dalam Aqidah, ada dalam perkara yang dhoruri atau yang Qoth’iyaat, sebagai contoh, ada seseorang yang tidak
meyakini Allah Subhanahu Wata’aalaa itu bukanlah Tuhan Pencipta alam beserta isinya, dan tidak beriman bahwa Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wasallam utusan Allah Subhanahu Wata’aalaa, serta
mengingkari rukun Islam yang lima, dan lain sebagainya yang sifatnya dharury.
Nah, sedangkan permasalahan
yag sifatnya bukan dharuri, seperti
istidlalnya para Ulama dan ahli ilmu
dalam menyikapi ayat-ayat sifhat (khabariyah) didalam Alquran, tentu ini harus membutuhkan
kehati-hatian menyimpulkan serta menghukuminya, maka penulis sengaja membatasi
pembahasan kali ini, hanya seputar perbedaan pendapat antara Asy’ari dan Salafi
dalam konteks aqidah Islamiyah yang terkhusus kepada ayat-ayat Shifat
(khabariyah). Untuk kali ini, penulis akan menuliskan methode Imam Asy’ari dalam menyikapi
ayat-ayat shifat ataupun khabariyah dalam Alquran.
Ada dua methode Imam
Asy’ari dalam menetapkan ayat-ayat shifat (khabariyah).
Pertama : Tafhwidh, dan ini selaras dengan pendapat ‘ulama
Salaf,
Kedua : Ta’wil,
ini sejalan dengan pendapat ‘ulama Khalaf
Perlu diperhatikan, Tidak
semua ‘ulama salaf itu selalu menggunakan method tafhwidh dalam permasalahan ayat-ayat shifat (khabariyah), sehingga bisa dikatakan bahwa ulama salaf itu selalu tafhwidh, karena terkadang, ada juga
diantara ‘ulama salaf yang menta’wil, dan
begitu juga sebaliknya, tidak semua ‘ulama khalaf itu menggunakan methode ta’wil,
karena ada juga diantara ‘ulama khalaf memilih tafhwidh dalam permasalahan seputar
ayat-ayat shifat. Maka oleh karena itu, boleh dikatakan, bahwa mayoritas ‘ulama
salaf itu menggunakan tafhwidh, dan sedangkan ‘ulama khalaf, mayoritasnya menggunakan
ta’wil.
Dan terdapat banyak ulama yang menyebutkan, bahwa imam
asy’ari mempunyai dua metodhe, dan ini sejalan dengan pendapat para ‘ulama-ulama asya’irah, seperti Qhadi baqilani
yang disebut sebagai Mu’assis kedua asya’irah, yang beliau ada menfwidh ayat-ayat
shifat ataupun khabariyah, seperti dalam kitabnya al-inshof, beliau ada metakwil
ayat istiwa denga istilaa’ yang berarti menguasai bukan menetap apalagi bersemayam,
serta sebagaiman buku yang penulis baca, ditemukan ada perkataan Imam Baihaqqi menyatakan, bahwa Imam
Asy’ari mentakwil ayat istiwa’ dengan sifat perbuatan (fi’lun), tentu ini sangat
jauh sekali dari makna yang sesungguhnya seperti menetap, bersemayam, duduk, dan
lain sebagainya menurut makna dzhohirnya.
Mungkin untuk sementara,
saya cukupkan sampai disini pembahasan mengenai methode Imam Asy’ari, karena terlalu
panjang dan sangat luas pembahasan ini, jadi penulis hanya meringkas seringkas ringkasnya,
dan tentunya bisa dikembangkan dalam diskusi nantinya.
Sebelum penulis tutup pembahasan
diatas, mari kita simak kalamnya Imam Al-idzi shohibu al-mawaakif, mawaakif salah
satu kitab muthawalat dan mu’tamad yang dikaji dimesjid Al-azhar oleh Shaikh Al-mutakallim
Hasan syafi’i
يقول الإمام الإيجي رحمه الله : لما وصف
تعالى بالاستواء في قوله تالى : الرحمن على العرش استوى (طه :5 )
اختلف الأصحاب فيه : فقال الأكثرون : هو الاستيلاء
, ويعود الاستواء حينئذ إلى صفة القدرة . قال الشاعر :
فد استوي بشر على العراق من غير سيف ودم مهرا ق
وقال الأخر :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar