(dirangkum oleh : Bayu
Pramutoko,SE.MM)
Telaah
agama, orientalisme dan poskolonialisme, dimana menterjemahkan kandungan sebuah
realitas agama yang didalamnya terdapat nilai sakral dan tidak dapat dijelaskan
dengan mudah melalui visualitas dan rasionalitas sosial. Sehingga
ketersembunyian dari agama tersebut menimbulkan interprestasi yang
bermacam-macam dari mereka yang menganut dan terobsesi dengan apa yang telah
mereka baca di kitab suci agama, dan mereka dengar dari ahli kitab atau pendeta
atau juga ulama.
Wacana
orientalisme memanifestasikan dirinya sebagai sebuah sistem ide yang
berpengaruh atau sebagai jaringan pelbagai kepentingan dan makna yang bersifat
intertektual yang diimplikasikan dalam pelbagai konteks, sosial, politik, dan
konstitusional dari hegemoni kolonial. Orientalisme yang selama ini di cap
sebagai bentuk perlawanan para intelektual barat (sekuler) yang memandang
kekuatan agama sebagai hegemoni kelompok garis keras (ortodok) yang menentang
hegemoni kelompok imperialisme . Sementara itu wacana Poskolonial berupaya
menganalisis bagaimana kenyataan historis tentang kolonialisme Eropa terus
membentuk hubungan antara barat dan non-Barat setelah negara-negara bekas
koloni memperoleh kemerdekaannya. Poskolonialisme menggambarkan proses
resistensi dan rekontruksi yang terus berlanjut yang dilakukan oleh non-Barat.
Oleh karenanya , teori poskolonialisme mengekplorasi pelbagai pengalaman
tentang penindasan, resistensi, ras, gender, representasi, perbedaan ,
pengusiran, dan migrasi dalam hubungannya dengan wacana dominan Barat tentang
sejarah, Filsafat, Sains, dan Linguistik.
Dalam
hal ini pendekatan lebih diarahkan ke agama kristen yang merupakan paradigma
awal pemikiran dalam agama . Sebagai studi perbandingan dan tinjauan kritis
terhadap agama lain seperti Hindu, Budha dan Islam. Dan pendekatan lain yang
membahas lebih detail tentang kaitannya dengan agama-agama yang ada di belahan
dunia timur.
Pemahaman tentang mistik yang berkaitan
dengan agama serta pendapat-pendapat filsuf barat yang mencoba
merasionalitaskan esensi mistik yang dikandung dalam agama yang dianut
masyarakat. Studi tentang mistik secara akademis diawali semenjak akhir abad ke
19. Munculnya istilah mistisisme (mysticism), Michel de Certeau,
mengatakan pertama kali di awal abad 17 di Perancis berasal dari kata La
Mystique. Yang diperkenalkan pertama kali oleh intelektual-intelektual
barat untuk menyebut fenomena atau aspek dalam tradisi Kristen.
Munculnya mistik dalam agama,
memarjinalkan peran agama yang sesungguhnya, sarjana-sarjana agama dan para
filsufpun tidak mampu menjelaskan secara pasti apa definisi sebenarnya “ Mistik
“ itu, sehingga selama berabad-abad diskusi tentang mistik hanya berkutat pada
masalah-masalah ritualitas yang berbeda dan pemunculan visual berikutnya dari
ritual tersebut dan secara kebetulan sempat ditangkap oleh indera para
sarjana-sarjana tersebut dari para penganut agama – agama itu. Selain itu
perkembangan pemikiran dan ilmu pengetahuan juga banyaknya penelitian tentang
filsafat dan agama.
Seiring dengan bergulirnya waktu ikut
pula mengkontruksi polaritas esensial agama menjadi konstruksi modern. Maka
penjelasan tentang agamapun menjadi lebih di prioritaskan kepada fungsi dan
manfaat agama tersebut bagi pemeluknya. Anggapan tentang agama sebagai
simbolitas sosial pemeluknya menjadi kejelasan keterpengaruhan aspek sosio
kultural ketika agama itu dianut dan diyakini kebenarannya.
Selanjutnya adalah ketidak perfeknya
pelaksanaan ritualitas religi itu, menginterprestasikan perbedaan yang cukup
retorik guna memperjelas eksistensi diri maupun agama yang sedang dijalaninya.
Para filsup Baratpun akhirnya memberikan pemisahan antara, agama dan
sekulerisme. Bukti pemisahan ini terjadi di Amerika serikat yang secara
ekplisit memisahkan Gereja dengan Negara, dan memberikan kebebasan kepada
individu untuk menjalankan agama yang dipilihnnya.Pandangan didunia akademis
modern yang sekuler, memandang gerakan-gerakan dan ideologi-ideologi politik
seperti Marxisme, Nasionalisme dan lain sebagainya sebagai agama modern. Inilah
sisi akademis dari upaya perebutan kekuasaan, yaitu justifikasi otonomi agama
dan studi agama sebagai disiplin ilmu yang bersemangat dan penting di
universitas modern yang sekuler.
Wacana Orientalis
dalam perkembangannya banyak menuai kecurigaan dan kecaman dari para filsuf
timur, paradigma yang dimunculkan selalu saja menyeret persengketaan pemahaman
kultural yang sudah mapan dan tertata dari abad ke abad. Pandangan yang paling
transparan oleh para Orientalis barat adalah kecenderungan mensekulerkan setiap
pemahaman-pemahaman ortodok yang sebenarnya tidak semuanya pandangan ortodok
itu salah diterapkan dalam sosial masyarakat. Hanya saja ketika para peneliti
barat memasuki area spiritulisme timur, mereka kebingungan meletakkan dasar
pijakan mana yang harus diselami dari aspek kultural masyarakat timur, sehingga
benturan pemahaman dalam diri para filsuf barat terjadi. Kebersinggungan yang
tak sepadan dari pemahaman tersebut melahirkan paradigma kontemporer yang sulit
dijelaskan. Maka banyak sekali mereka yang berasal dari barat sering mengatakan
bahwa dunia timur merupakan masyarakat yang konvesional dan ortodok.
Seperti yang
dilakukan oleh Edward Said pada tahun 1978, yang menulis bukunya yang
pertamakali dan menggoncangkan dunia, dengan judul, Orientalisme
: Western Conceptions of the Orient. Dalam bukunya ini Said banyak
menggulirkan kritik yang pedas dan kecaman terhadap cara-cara bagaimana “
wacana orientalis “ telah melegitimasi imperialisme Barat dan Eropa , hingga
tercipta masyarakat yang lamban dalam mengadopsi setiap perkembangan dunia
Global. Argumentasi itupun berawal dari wacana Barat yang sekuler. Setelah
banyak terjadi penjajahan yang dilakukan oleh Eropa dan Barat, dengan segala
cara menekan dan menindas habis sumberdaya yang ada di tanah jajahan, dan
menggiring masyarakatnya menjadi terbelakang bertahun-tahun lamanya, sementara
kemakmuran beralih ke Eropa dan Barat, ketertinggalan yang disengaja oleh
mereka menjadi Poskolonialisme, yang tertanam hingga sekarang. Kaum Orientalis
sekuler menilai bahwa ketertinggalan itu harus diatasi dengan Modernisasi.
Dengan menitik beratkan pada sasaran menyerang kultur masyarakat dan mengganti
dengan kultur barat yang sekuler serta menjual ide kepada mereka, disebutnya
sebagai masa Pencerahan sebuah analog yang pernah digunakan dalam gerakan
Renaisance di Paris oleh Martin Luther yang menentang Otorisasi Gereja, hingga
Protes keras masyarakat Kristen terhadap hegemoni Gereja yang dilakukan oleh
para Pendeta dan memecah agama Kristen menjadi dua, yang Katolik Ortodok dan
Protestan. Sebuah rekayasa intelektual barat dalam rangka hegemoni global dan
Perencanaan yang matang untuk masa depan barat kemudian .selain itu memudahkan
mengatur masyarakat belahan dunia timur setelah kultur Barat dapat memasuki
alam bawah sadarnya.
Modernitas
yang selama ini menjadi jaminan para sarjana-sarjana barat, lebih dekat bila
dikatakan Westernisasi yang dipaksa masuk untuk merubah paradigma lama para
sarjana-sarjana timur untuk lebih mudah disepahamkan menjadi wilayah
rasionalitas ide yang selama ini barat merasa sulit untuk menterjemahkan
paradigma lama yang telah lama dipahami dan dijalani oleh penduduk. Maka
Modernisasi dan Westernisasi sebenarnya tidak jauh berbeda. Hanya keseimbangan,
antara pemikiran lama yang rasionalitas dan dari barat yang banyak menyerang
pemahaman Timur, seakan lebih dan harus dirubah sesuai dengan pola pemikiran
Barat yang belum tentu sesuai bila diterapkan di Timur. Karena banyak contoh
yang tidak diberikan secara rinci tentang aktivitas kultural maupun religi yang
bisa diterjemahkan secara rasionalitas atmosfir orientalis sekuler, karena
tidak semuanya yang berpijak pada tataran ortodok selamanya harus irasional,
hanya saja kurangnya pendekatan pada falsafah timur secara universal hanya
Hindu di India. Dogma Hindu telah menyebar hampir di seluruh dunia, Di
Indonesia seakan membumi dan sulit dihilangkan, sehingga tercipta hegemoni
kultural Jawa dan berkembang wacana sinkrinitas , perpaduan dua budaya Hindu
dan Islam.
Rasionalitas
para intelektual barat ini outputnya adalah sikap superior , menanggapi
paradigma lama yang banyak berkembang di belahan dunia timur. Mengkritisi
agama-agama yang selama ini dianut oleh masyarakat timur dan mengkomparasikan
dengan ajaran Kristen dan keterpengaruhannya dengan filsuf barat seperti Plato,
Thomas Aquinas, Socrates dan lainnya juga ajaran Bibel. Karena sebelumnya pula
Kristen mendapat resensi yang cukup kritis dari para filsuf tersebut, dan
banyak karya rasionalitas barat yang mengacu pada pendekatan Bibel yang pada
waktu itu menjadi jawaban akhir setiap pertanyaan yang timbul dari masyarakat
abad pertengahan. Superioritas Religi Kultural yang teradaptasi dari
serangkaian proses pencarian tersebut terakumulasi sebagai paradigma barat yang
menerapkan paradigma Kristen dan Yahudi untuk membandingkan, esensialitas
agama-agama yang ada di dunia. Sikap mendua dari sebagian sarjana-sarjana barat
itu menjadi bahan diskusi menarik,satu sisi mereka berpihak pada pembenaran
ajaran Bible dilain pihak mencoba menggali lebih jauh esensi didalamnya.
Kegusaran inilah yang menjadi embrio kelompok Orientalis dalam mencari jawaban
atas apa yang mereka yakini dan secara rasionalitas mampu terjemahkan.
Tetapi
pada akhirnya mereka merasa bahwa apa yang telah mereka pelajari dari
pendahulunya merupakan jawaban terhadap apa yang mereka pelajari dari kondisi
Relegi Sosio Kultural masyarakat Timur. Sehingga feedback rasionalitas
intelektual atas kesulitan pemahaman ini menghegemoni dan memarjinalkan
kesepahaman intelektual masyarakat timur, terlebih dengan imperialisme yang
dilakukan oleh Eropa dan Barat yang begitu kuat, ketergantungan dari aspek
ekonomi politik menjadi tidak relevan dengan orisinilitas keintelektualan yang
rasional dan ilmiah.
Penentangan
terhadap wacana Orientalisme yang berkembang mendapat tanggapan radikal yang
memberikan bukti, pemakaian ide orientalisme juga digunakan oleh tokoh-tokoh
pembaharu seperti di India misalnya. Gandi. Dengan nasionalisme sekulernya
mencairkan kebekuan masyarakatnya menjadi lebih rasional dalam memandang dunia
ini. Gandi melihat bahwa pemikiran orientalis dalam mencairkan kebekuan
kultural Hinduisme di India harus dilakukan dengan perombakan ide
sarjana-sarjana India, itu diterima dan diterjemahkan oleh Gandi dengan
menyesuaikan kultural masyarakat India. Di negara India agama Hindu selain
sebagai agama juga merupakan bentuk sosial kultural dan interaksi yang
terintegrasi begitu kuat di masyarakatnya. Keberhasilan kaum Orientalis
memasuki intelektual sarjana-sarjana India selain karena imperialisme Inggeris
juga penjajahan Kultural yang dilakukan, maka ada Tubuh, kulit dan rambut
India, tetapi Otak dan gaya hidupnya Inggeris.
Mitos
Modern tentang Agama Hindu. Ketika kebudayaan Eropa semakin terpesona misteri
kultural dam sumber daya Ekonomi di wilayah-wilayah asing di abad Kolonial, ada
suatu kepastian bahwa kesadaran yang terus berkembang akan diversitas
kebudayaan dan agama menuntut karakteristik terhadap perspektif-perspektif
alternatif dengan cara membandingkan perspektif mereka dengan perspektif Eropa
(kristen) yang Normatif. Disini lebih pada penggambaran Agama Hindu di India
dengan muatan mistisisme yang kental dan upaya membongkar tradisi ritual serta
pengaruh pemahana filsafat Hindu terhadap masyarakat India.
Intelektual
barat sekuler menyimpulkan, telah terjadi konstruksi sosial baru dengan ajaran
yang diterapkan oleh Hindu, dan Hindu sendiri dipandang sebagai sebuah hasil
proses kultural yang berkembang dan dimulai dari adat istiadat penduduk dalam
pencarian atas jawaban persoalan hidup. Jadi bukan merupakan agama seperti
Kristen dan Islam. Studi-studi kebudayaan-kebudayaan Asia di Barat pada umumnya
berciri esensialisme yang mempostulasikan eksistensi properti, kualitas atau
watak yang berlainan yang membedakan kebudayaan India dari kebudayaan Barat.
Seperti telah ditunjukan oleh Inden, sarjana-sarjana barat cenderung
berpendirian bahwa analisis semacam itu merupakan representasi yang akurat dan
tidak problematik atas apa yang akan dijelaskan, dan bahwa sarjana-sarjana
Barat lebih baik dari pada orang-orang India Sendiri dalam memahami,
mengklasifikasi dan mendeskripsikan kebudayaan India.
Sederhananya,
kita dapat menyebut dua jenis wacana Orientalis, pertama, umumnya melihat
superioritas Eropa sebagai antagonistik dan Pasti, ke dua, umumnya melihat
superioritas India sebagai Afirmatif, antusias dan sugestif dalam bidang-bidang
tertentu yang pokok. Kedua bentuk Orientalisme merupakan karakteristik wacana
hegemoni barat terhadap dunia timur, namun demikian, membuat penilaian
esensialis yang mendukung konsepsi Kebudayaan India yang sangat simplistik dan
homogen.
Namun
demikian wacana-wacana Orientalis tidaklah Univokal, juga tidak dapat dinafikan
dari perannya sebagai alat ideologi Imperialis Eropa. Maka , intelegensia India
yang baru , yang terdidik di sekolah-sekolah yang dibangun oleh penjajah dan
menurut standart kultural Eropa, mengambil muatan-muatan romantis dalam
dialog-dialog Orientalis dan menyebarkan gagasan tradisi religius kuno yang secara
spiritual maju yang disebut Hinduisme, sebagai agama bangsa India. Dengan cara
ini , dari wacana-wacana nasionalis dan orientalis yang terinspirasikan oleh
barat merembeslah kesadaran diri yang indegenous dan diterapkan kedalam
wacana-wacana antikolonial oleh sarjana-sarjana India sendiri. Akan tetapi,
wacana-wacana indegenous semacam ini tetap saja berhutang pada
perkiraan-perkiraan Orientalisme yang umumnya gagal mengkritisi stereotip
esensialis yang terkandung didalam narasi tersebut. Penolakan terhadap hegemoni
politik Inggeris, tetapi dari sudut pandang yang masih menerima banyak
perkiraan Inggeris tentang kebudayaan India, oleh Ashis Nandy disebut dengan
koloni kedua terhadap India.
Agama Hindu di India selain sebagai
sebuah ideologi juga menjadi Kultur yang mengakar kuat, orientalis barat
melihat Agama Hindu memiliki nilai mistik yang tinggi, sesuai apa yang mereka
temukan dalam Vedanta sebagai teologi Pokok dalam agama Hindu.
Karya-karya
sastrawan Hindu yang populer dan menjadi rujukan atau perbandingan cerminan
diri adalah kisah Mahabarata, yang merupakan teks dari Epos Hindu yang panjang.
Juga Bhagawad Gita yang merupakan kisah perbincangan Sri Kresna dengan Arjuna
dalam perang Bharatayuda di dalam teks Mahabarata. Sebuah kajian sufi agama Hindu
dalam membedah makna hidup dan kehidupan serta tataran etika moral keijiwaan
yang tinggi serta olah batin vertikal dan horisontal. Pembaca naskah ini seakan
terbawa dalam lingkaran kebingungan Arjuna dalam berperang dan membunuh
saudara-saudaranya kurawa, sebuah pertempuran batin dalam diri Arjuna. Namun
terjawab dengan pendapat Sri Kresna tentang berbagai hal yang wajib dilakukan
dan tidak dilakukan, aspek hak kewajiban manusia hidup di dunia fana.
Kajian
Hindu dalam tataran sekulerisme dan mistik yang dikemas dalam literatur kuno
semacam Bhagawad Gita yang mempesona kaum Otientalis Barat untuk mempelajari .
Pendekatan Normatif dari agama Kristen terhadap masyarakat India yang coba
diterjemahkan dalam kesamaan pandang , daripada alur cerita maupun kultur yang
dikembangkan dalam teks-teks kuno itu nampaknya tidak menjadikan kesulitan bagi
penganut Hindu di India. Terlebih memang secara historis keberangkatan Hindu
dan Kristen berbeda, juga kepentingan integritas kultural itu jelas merupakan
rencana kaum Orientalis untuk membuka mata dan menyalahkan ajaran Hindu yang
dianut.
Ketertarikan kaum Intelektual Barat
dan Hindu pada teks-teks ini juga memberi kontribusi pada tumbuhnya citra
heroik dan asketik-mulia sebagai nilai-nilai pokok agama Hindu. Di bab ini banyak
disajikan teks-teks Hindu yang menjadi rujukan barat dalam menganalisa
nilai-nilai dikultural Hindu.
Historial
lahirnya agama Budha yang merupakan salah satu rangkaian proses perjalanan
panjang Ikatan Kultural Hindu yang cukup Romantik didalam Masyarakat India,
karena sejarah mencatat kedua agama tersebut kelahirannya di negara yang sama
yaitu India. Sebuah fenomena menarik manakala dalam kondisi struktur Histori
Kultural yang sama terlahir Dua Agama besar yang sampai saat ini menjadi kajian
menarik para ilmuan barat. Juga dengan makin mengkristalnya pemikiran-pemikiran
hindu mempola pemikiran kearah tranparansi aktual mistik yang dikandungnya.
Mengklasifikasikan
Budhisme sebagai sebuah agama dunia tidak seproblematis Hinduisme karena
setidaknya kita bisa menunjuk adanya sejarah Budhisme dalam berbagai miliu
kultural (Asia Tenggara, Tibet, China, Jepang dan sebagainya). Dalam agama
Budha di buku ini menjelaskan adanya kerangka instutional yang mapan yaitu
komunitas religius Khusus yakni bhiksu dan bhiksuni seorang pendeta laki-laki
dan perempuan. Juga mempunyai akar sejarah yang menjadi figur pendiri agama
tersebut yaitu Siddarta Gautama. Dia anak seorang raja yang meninggalkan segala
kemewahannya didunia keluar dari Istanannya dan berkelana mencari kesempurnaan
hidup sebagai seorang pengembala, hingga pada suatu ketika mendapatkan kemulian
dari sang pencipta. Dari situlah kemudian ajaran Budha ( Dharma) diberikan bagi
mereka yang menganutnya.
Hal
ini menjadi semacam kesatuan religius di antara pemeluk Budha yang tidak
dijumpai pada orang-orang Hindu prakolonial.maka sebagaimana kata Donald Lopes
Jr. “ akan terlihat bahwa Budhisme, seperti yang dikonstruksi dan dipahami
Eropa pasti mengacu ke Asia, bahwa Budhisme pasti memiliki status ontologis
yang lebih stabil daripada Hindu.
Ketika
berbicara mengenai agama Hindu dan Budha, seakan tidak mempunyai batasan yang
tepat untuk memahami eksistensi filsafati kedua agama ini. Selain struktur
kultural dari akar yang sama yaitu India. Beberapa kaidah ajarannyapun sekilas
nampak sama. Misal mitos tentang dewa-dewa juga penyembahan tentang dewa-dewa,
memiliki karakteristik proses ritual yang hampir sama, hanya berbeda pada
nama-nama dan simbol-simbol keyakinannya.
Kaum
Orientalis barat cenderung melihat bahwa aspek lahirnya agama Budha, adalah
merupakan gerakan baru mendobrak struktur kultural Hindu yang tidak mempunyai
ontologis yang pasti. Pendekatan melalui agama kristen yang pernah bergolak
ketika Martin Luter dengan Renaisancenya membelah agama Nasrani ini menjadi dua
yaitu mereka yang berhaluan ortodok yaitu Katolik dan haluan pembaharu yaitu
Kristen Protestan. Intelektual barat mengibaratkan Siddarta Gautama sebagai
Martin Luthernya India. Yang berani mendobrak polarisasi Hindu dengan ajaran
Budha yang kultural sentris itu.
Beberapa
kaidah menarik tentang pengalaman – pengalaman mistis yng pernah dialami oleh
penganut-penganut agama, dan menjadi studi perbandingan mistisisme antara
agama-agama di dunia. Beberapa aktivitas ritual keagamaan di kristen dan
praktik-praktik liturgisnya seperti Eucharis juga dideskripsikan sebagai
mistik, yang mengubah aktivitas duniawi seprti makan, dan minum, makan roti
dalam sakramen religius dalam siknifikasi kosmis dan abadi.
Penafsiran
mistik dalam kitab suci beberapa agama ini menjadi jelas rujukan ketika
beberapa pendapat seperti Origen yang menempatkan sisi kitab suci sebagai
penggambaran awal ritual mistik beberapa agama. Studi perbandingan mistisisme
juga cenderung pada agama-agama dunia tektualis sebagai representasi pengalaman
religius manusia. Setelah mengamati konstruksi Hinduisme dan Budhaisme dalam
kebudayaan barat dan pengasosiasian India sebagai simbol kultural Timur yang
mistik, pentinglah kiranya mengekplorasi cara-cara bagaimana agama-agama India
,sebagai representasi fenomena mistisisme Asia, telah ditafsirkan dan
ditempatkan dalam kerangka pendekatan ekperiental modern untuk studi
mistisisme. Oleh karenannya, kita harus mengkaji legasi kiasan-kiasan
orientalis yang abadi tentang sifat mistik agama India dalam kesarjanaan
kontemporer.
Tulisan-tulisan
modern tentang mistisisme adalah pandangan teologis yang dikenal dengan
Perenialisme. Menurut doktrin ini terdapat sebuah kesamaan esensial (esensial
community) diantara tradisi-tradisi Filosofis dan religius yang berasal dari
berbagai kebudayaan yang terpisah. Pandangan esensialis ini banyak terdapat
dalam karya-karya Swami Vivekananda dan Sarvepalli Rhadakrishnan. Dalam karya
ini mengalir konsep Philosofia perennis yang mengalir dalam tradisi-tradisi
filosofis.
Masyarakat
dunia yang banyak dipengaruhi oleh proses globalisasi dan homogenitas kultural,
kepercayaan bahwa tradisi-tradisi religius yang berbeda memiliki pesan
fundamental atau common core yang seringkali diekpresikan bagi mereka yang
tertarik kepada agama tetapi tidak mengikuti afiliasi religius tertentu. Yang
menarik dari klaim esensialis dan perenialis adalah perspektip kita ini , bahwa
kesamaan tersebut seringkali dideskripsikan oleh para pendukungnya sebagai
muatan mistik.
Perdebatan
dan argumentasipun bermunculan dari para intelektual barat tentang pendekatan
Philosofia perennis, karena teks-teks yang sudah diterjemahkan dalam bahasa
inggeris, selanjutnya memiliki dimensi perubahan makna subtantif yang ada dalam
kata atau kalimat terjemahan tersebut. Jadi menurut Huxley tetap tidak
tersubtansikan dan problematis. Bagi Huxley, filsafat perennial ini ada di
dalam semua kebudayaan manusia sepanjang sejarah dan tetap menjadi poin inti
atau esensi ungkapan religius dunia. Ditahun 1954 Huxley menerbitkan bukunya dengan
judul The door of perception, sebuah karya yang ditulis setelah dia
mengkonsumsi obat mescaline. Dan hasilnya adalah sebuah pengalaman mistik yang
huxley menjadi bukan dirinya sendiri.
Zaehner
penyangkal bahwa apa yang telah dialami Huxley dalam bukunya, yang secara
mistik tersebut sama seperti apa yang berlaku dalam orientasi mistik yang ada
didalam agama. Memperjelas konsepsi mistik yang termanifestasi dalam aktivitas
ritual keagamaan , dan perbedaannya dengan aktivitas mistik yang sengaja
dilakukan untuk mengetahui esensial yang tersembunyikan dari konsep
struktualitas agama di dunia.
Maka
kajian ilmiah yang dikonstruksikan oleh kaum orientalis terhadap dunia mistik.
Ternyata mengalami pergeseran paradigma subtansial yang tidak terstruktur
secara rinci seperti ritualitas agama yang ada. Mereka menganggap bahwa setiap
dimensi mistik didunia ini selalu sama dan memiliki wilayah sama pula dengan
dimensi kultural religius. Alasannya adalah setiap aktivitas mistik tanpa
terproses dari nilai keabsahan pemahan diri yang kuat dari ritualitas itu akan
menghasilkan visualitas ganda penampakan esensi mistik. Sementara dalam kaidah
agama dimanapun tempatnya proses tersebut terstruktur dan terkonsep dengan
matang, dan output yang jelas dari pemahaman historis sebelumnya.
Benturan
pemikiran yang terjadi saat ini oleh para orientalis, terjadi karena banyaknya
kepentingan yang melatarbelakangi aspek orisinalitas intelektual barat terhadap
karya yang disajikan. Banyak rekonstruksi awal yang dijadikan perencanaan
proses kebermihakan kalangan politik untuk memberikan wacana baru sebelum
wacana lama dileburkan. Pemahaman ideologi agama yang dalam bab satu lebih
mengedepankan aspek sosio kultural religius dirubah menjadi paradigma
kontemporer yang sulit terasionalisasi secara gamblang. Reason aktual tentang
keterlibatan orientalis yang tidak lagi mampu melakukan proyeksi keinteletualan
karena sudah teradopsinya kepentingan dan pertelingkahan kultural yang ambisius
dan rakus.
Komparasi
agama di era Poskolonial hanya dijadikan tameng dan legitimasi kolonial barat
dalam merekonstruksi lagi sebuah pemahaman baru yang dipengaruhi oleh ide-ide
pembusukan pemikiran dari superior barat. Pendiskripsian wacana-wacana baru
dari belahan timur difahami sebagai sebuah analog ketertinggalan yang hanya
sebatas pengantar atas pikiran yang telah dihasilkan oleh kaum orioentalis.
Semenjak
zaman kolonial penggalian terhadap historis kultural dunia timur melalui
metode-metode penelitian yang terfokus pada ide-ide dasar sebuah konstruksi
kultural Timur seperti agama Hinduisme dan Budhisme di India, Islam di Arab.
Setelah memasuki era poskolonialisme digunakan kembali sebagai senjata
pemerdayaan dunia timur melalui pemahaman modernitas yang westernisasi.
Agama-agama
modern seperti marxisme dan nasionalisme yang merupakan kolaborasi pemikiran
intelektual barat, untuk menyelesaikan masalah penduduk dalam dikotomi politik.
Kata akhirnya adalah bahwa kesepahaman ideologi hanya bisa dicapai melalui
histioris kultural yang menjangkau dialogis masyarakat . sedangkan agama-agama
modern tersebut hanyalah kesepahaman yang terisolasi dari kontek universalitas
kultural karena hanyak berpijak pada satu dialektika sejarah dari penentangan
faham ideologi tertentu, atau sebuah jawaban praktis dan memiliki kepentingan
ganda dan masa depan yang lemah.
Yang
utama dengan gaya komparativisme yang baru muncul ini adalah pengetahuan
kesaling melengkapi antara berbagai poros dominasi dan juga kepedulian pada
mutualitas kebersamaan, interaksi dan pengaruh lintas kultural, yang dengan
cara demikian membuka ruang untuk dialog komparatif dan mencegah daya tarik
isolasionis . dalam pengertian ini , pandangan universalis dan etno-spesifik
terhadap sejarah tidaklah cukup. Pendekatan semacam itu juga melibatkan
perubahan penekanan yang jauh dari kepedulian epistimologi dengan
mempertanyakan , bagaimana penerjemahan dan perjanjian lintas kultural
dimungkinkan ?. menuju kajian terhadap realitas material yang melatari politik
perbedaan.
Selesai
Tidak ada komentar:
Posting Komentar