A. Pendahuluan
Administrasi Publik memainkan peranan yang penting datam
penyel.enggaraan Pemerintahan. Baik buruknya penyetenggaraan pemerintahan dan
pelayanan Publik sangat ditentukan oleh kuatitas Administrasi Publik yang diiniliki
oleh suatu negara. Dalam konteks Negara Kesatuan RePublik Indonesia, keberadaan
Administrasi Publik merupakan instrumen penting untuk mewujudkan tujuan-tujuan
negara yang termaktub dalam UUD 1945 antara lain untuk memajukan kesejahteraaan
urnum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Dalam teori dan praktek, Administrasi Publik telah mengalami
perubahan yang sangat signifikan. Perkembangan itu dimulal pada masa sebelum lahirnya
konsep Negara Bangsa hingga lahirnya ilmu modern dan Administrasi Publik yang
hingga saat ini telah mengalami beberapa kali pergeseran paradigma, mulai dari
model klasik yang berkembang daam kurun waktu 1855/1887 hingga akhir 1980an; New
Public Management (NPM) yang berkembang dälam kurun waktu akhir 1980an
hingga pertengahan 1990an; sampai kepada Good Governance yang berkembang
sejak pertengahan 1990an hingga saat ini.
Pergeseran paradigma Administrasi Publik tersebut, telah
membawa implikasi terhadap penyelenggaraan peran Administrasi Publik khususnya
terkait dengan pendekatan yang digunakan dalam pembuatan dan pelaksanaan
strategi; pengelolaan organisasi secara internal; serta interaksi antara Administrasi
Publik dengan politisi, masyarakat dan aktor Lainnya. Implikasi yang demikian
tentu saja pada akhirnya akan sangat menentukan corak dan ragam dalam
penyelengaraan Pemerintahan dan sebuah Negara, termasuk Indonesia. Corak dan
ragam tersebut akan sangat ditentukan oleh kondisi lokal yang ada di Negara
tersebut, dalam artian sejauhmana Administrasi Publik di Negara tersebut telah
menyesuaikan diri dengan perkembangan paradigma yang ada; serta sejauhmana
penyesuaian tersebut dilakukan dengan memperhatikan konteks lokal dan
permasalahan yang ada di Negara tersebut.
Perkembangan ilmu Administrasi Publik ditandai dengan
bergesernya paradigma dalam Administrasi Publik. Kita
mengetahui paling tidak ada tiga paradigma yang telah dan akan sedang
berlangsung dalam Administrasi Publik; yaltu (1) Classic Public Adininistrastion,
(2) New Public Management, dan (3) Good Governance and the new public services.
Perubahan paradigma dalam Ilmu Administrasi Publik tersebut menuntut perubahan
kurikulum dan materi pengajaran pada pendidikan tinggi.
1. Paradigma Administrasi Publik
1 .1. Administrasi Publik Model Kiasik (Classici Old Public Administration)
a. Konsep yang digunakan
Dalam
pandangan klasik, Administrasi Publik seringkali dilihat sebagai seperangkat
Institusi Negara, proses, prosedur, sistem dan struktur organisasi, serta
praktek dan periilaku untuk mengelola urusan-urusan Publik dalam rangka
melayani kepentingan Publik (Econoinic and Social Council UN, 2004). Sebagai
organisasi birokrasi, Administrasi Publik menurut ESC-UN (2004) bekerja melalui
seperangkat aturan dengan legitimasi, delegasi, kewenangan rasional legal,
keahlian, tidak berat sebelah, terus menerus, cepat dan akurat:, dapat
diprediksi, memiliki standar, integnitas dan profesionalisme dalam rangka memuaskan
kepentingan masyarakat umum. Dengan demikian, Administrasi Publik sebagai
sebuah instrumen Negara diharapkan untuk menyediakan basis fundamental bagi
perkembangan manusia dan rasa aman, termasuk di dalamnya kebebasan individu,
perlindungan akan kehidupan dan kepemilikan, keadilan, perlindungan terhadap
hak asasi manusia, stabilitas, dan resolusi konflik secara damai baik dalam
mengalokasikan atau mendistribusikan surnberdaya maupun dalam hal-hal lalnnya
(Econoinic and Social Council UN, 2004). Dengan kata lain, Administrasi Negara
yang efektif harus ada untuk menjamin keberlanjutan aturan hukum (Econoinic and
SociaL CounciL UN, 2004).
Sehigga
dapat dikatakan bahwa Administrasi Publik model klasik ini cenderung
menggunakan pendekatan yang legalistik.
Studi
Administrasi Publik pada awalnya tentu saja tidak melupakan kontribusi Woodrow Wilson (1887) dalam “A
Study of Administration”. Wilson secara tegas berkeinginan mengatakan bahwa harus terdapat pemisahan
antara politik dan Administrasi. Politik “who should
maka Law and what the law should be”. Sedangkan Administrasi “ how Law should
be administered”. Kajian yang sama dilakukan oleh Frank J. Goodnow (1900) dalam
“Politic and Administration: A Study in Government, yang memandang agar Administrasi
bebas dan pengaruh politik, meskipun Administrasi membantu dalam eksekusi
kebijakan/Keputusan politik.
Paradigma Administrasi Publik model klasik juga dapat dilihat
melalui model “old chesnuts” dari Peters (1996 dan 2001), dimana Administrasi
Publik berdasarkan pada Pegawai Negeri yang politis dan terinstitusionalisasi;
organisasi yang hirarkhis dan berdasarkan peraturan; penugasan yang permanen
dan stabil; banyaknya pengaturan internal; serta menghasilkan keluaran yang
seragam (lihat dalam Oluwu, 2002 dan Frederickson, 2004). Dalam hal ini
kharakter Old Public Administration dicirikan oleh kegiatan pemèrintah yang
terfokus pada pemberian pelayanan kepada masyarakat yang dilakukan oleh administrator
Publik yang akuntabel dan bertanggungjawab secara demokratis kepada elected
officiaL. Nilai dasar utama yang diperjuangkan dalam Old Public Administration
adalah efisiensi dan rasionalitas sebagai sebuah sistem tertutup. Fungsi administrator Publik didefinisikan
sebagai planning, organizing, staffing, directig, coordinating dan budgeting.
b. Kritik terhadap model kiasik
Kritik yang ditujukan terhadap Administrasi Publik model
klasik tersebut juga dikaitkan dengan karakteristik dan Administrasi Publik
yang dianggap inter Qua, red tape, lamban, tidak sensltif terhadap
kebutuhari masyarakat, penggunaan sumberdaya Publik yang sia-sia akibat hanya
berfokus pada proses dan prosedur dibandingkan kepada hasil, sehingga pada
akhirnya menyebabkan munculnya pandangan negatif dan masyarakat yang menganggap
Administrasi Publik sebagai beban besar para pembayar pajak (Econoinic and
SociaL Council UN, 2004).
Kritik terhadap Administrasi Publik model kiasik juga
dapat dilihat dalam kaitannya dengan keberadaan konsep “Birokrasi Ideal” dan
Weber. Terdapat setidaknya 2 (dua) titik kritis terhadap Birokrasi Weberian
tersebut (Prasojo, 2003), yakni: pertama,
dalam hubungan antara masyarakat dan negara, implementasi birokrasi ditandai
dengan meningkatnya intensitas perundang-undangan dan juga kompleksitas
peraturan; kedua, struktur birokrasi
dalam hubungannya dengan masyarakat seringkali dikritisi sebagai` penyebab
menjamurnya meja-meja pelayanan sekaligus menjadi penyebab jauhnya birokrasi
dan rakyat. Peningkatan intensitas dianggap memiliki resiko dimana pada akhirnya
akan menyebabkan intervensi negara yang akan menyentuh semua aspek kehidupan
masyarakat dan pada akhirnya menyebabkan biaya penyelenggaraan birokrasi
menjadi sangat mahal (Prasojo, 2003). Kritik lainnya adatah bahwa Administrasi
Publik sebagai sistem yang tertutup dengan pendekatan hirakis yang top down dan
ukuran kinerja yang hanya berbasis pada efisiensi bukan responsiveness. Itu
sebabnya birokrasi menjadi lamban dan kurang responsif dengan perubahan dan
kebutuhan masyarakat. Kritik-kritik sebagaimana tersebut di atas kemudian
menyebabkan dukungan bagi adanya pembaharuan dalam Administrasi Publik.
2. Gelombang Pertama Pembaharuan:
2.1.
Progressive Era Public Administration (PPA)
Dalam perkembangan paradigma Administrasi Publik, di
negara-negara industri maju, pembaharuan terhadap Administrasi Publik [ama
metiputi du.a gelombang reformasi yang radikat. Gelombang pertama datam Administrasi
Publik disebut dengan Progressive Era Public Administration (PPA) (Wallis,
DoUery, McLaughlin, 2007). Gelombang pertama perbaharuan ini berupaya meningkatkan
profesionalisme pelayanan publik melalui jaminan seleksi dan promosi dalam
birokrasi yang berbasis merit dan bukan patronase, berdasarkan kepada hukum dan
peraturan bukan pada diskresi yang tidak terbatas, pelaksanaan pelayanan publik
yang berbasis impersonalitas, prosedur modernisasi dalam sebuah transformasi
yang sangat cepat dan mengambil tempat di produksi ekonomi negara-negara
industri maju (Hood, 1994).
2.2.
New public Management (NPM)
a. Konsep yang digunakan
Dari banyak kasus yang ada, NPM dianggap telah banyak berbuat
untuk menggoyang organisasi publik yang tidur dan melayani dirinya sendiri
melalui penggunaan ide-ide dari sektor privat (Oluwu, 2002). NPM menyediakan
banyak pilihan untuk mencoba mencapai biaya yang efektif dalam penyampaian
barang publik seperti adanya organisasi yang terpisah untuk kebijakan dan
implementasi, kontrak kinerja, pasar internal, sub kontrak dan metode lainnya (Oluwu, 2002). NPM
memiliki fokus yang kuat terhadap organisasi internalnya (Oluwu, 2002). Dalam
bahasa penulis, NPM berusaha untuk memperbaiki kinerja organisasi sektor publik
dengan menggunakan metode yang biasa digunakan oleh sektor privat dan melalui
mekanisme pasar. Pada dasarnya hal yang baru dalam NPM (what is new public
management) adalah mereformasi paradigma administrasi publik lama yang berbasis
traditional ruled based, authority driven process dengan pendekatan baru yang
berbasis market-based dan compettition driven based.
Terdapat sejumlah prinsip dasar dari NPM berdasarkan
pendapat dari sejumlah ahli sebagaimana uraian berikut (Hoods 1991 dan Owens
1998 dalam Oluwu, 2002; serta Borins and Warrington 1996 dalam Samaratunge and
Bennington, 2002).
* Penanganan oleh manajemen
profesonaL.
* Keberadaan standar dan ukuran
kinerja.
* Penekanan pada pengawasan keluaran
dan manajenien wirausaha.
* Kompetisi dalam pelayanan Publik.
* Penekanan pada gaya sektor
privat dalam praktek manajemen.
* Penekanan yang lebih besar pada
disiplin dan penghematan.
* Penekanan terhadap peran dan
manajer Publik dalam menyediakan pelayanan yang berkualitas tinggi
* Mengadvokasi otonoini manajerial
dengan mengurangi pengawasan peran lembaga pusat
* Tuntutan, pengukuran dan penghargaan
terhadap kinerja individu dan organinasi.
* Menyadari pentingnya penyediaan
sumberdaya manusia dan teknologi yang dibutuhkan manajer dalam memenuhi target
kinerjanya.
* Menjaga penerimaan terhadap
kompetisi dan wawasan yang terbuka menenai bagaimana tujuan Publik harus dilaksanakan
oleh aparat pemerintah.
Beberapa prinsip yang dikembangkan oteh para ahli Administrasi Publik
tersebut pada dasarnya bertujuan untuk mencapai ` dalam banyak hal, Publik seringkati tidak
ditibatkan untuk berpartisipasi dalam menentukan, meencanakan, mengawasi dan
mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambiL untuk dapat menjarnin bahwa Publik
tetap menjadi pusat dan tindakan-tindakan pemeritah. Lebih jauh, Drechsler
(2005) mengingatkan bahwa rnenganggap masyarakat hanya sebagai konsumen semata
menyebabkan masyarakat dijauhkan dan haknya untuk berpartisipasi.
Kritik Lain dikemukakan
oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt datam
bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya melayani warga masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not
customers), mengutamakan kepentingan Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), dan menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity).
bukunya “The New Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya melayani warga masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not
customers), mengutamakan kepentingan Publik bukan private (seek the pubtic interest), lebih menghargai warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship, melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), dan menghargai orang bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just productivity).
C.3. Kritik terhadap NPM
Pelaksanaan NPM bukanlah tanpa kritik. Terdapat sejumlah
hal yang dianggap sebagai kelemahan dari NPM, seperti yang dinyatakan oleh
Oluwu (2002).
Menurut OLuwu, ketika Administrasi Pubtik berusaha
memaharni pesan yang ditawarkan oleh pendekatan pasar maka permasalahan yang
muncul ada1ah terkait dengan pernyataan bahwa tidak ada perbedaan antara
manajemen sektor publik dengan sektor privat dalam mengimplementasikan NPM.
Setain itu, terdapat sejumlah pertanyaan lain yang mengemuka mengenai validitas
empirik dan NPM dalam hal klaimnya terhadap manajemen sektor privat yang
dianggap ideal untuk sektor publik. Terdapat sejumlah pertentangan antara klaim datam NPM terhadap kondisi yang
ada di sektor publik. Model usahawan seringkali dapat mengurangi esensi dan
nilai-nilai demokratis seperti keaditan, peradilan, keterwakitan dan
partisipasi. Hal ini menurut ESC UN (2004) dakibatkan oleh adanya perbedaan
besar antara kekuatan pasar dengan kepentingari publik, dan kekuatan pasar ini
tidak selalu dapat memenuhi apa yang menjadi kepentingan publik. Bahkan dalam
banyak hal, publik seringkali tidak dilibatkan untuk berpartisipasi dalam
menentukan, merencanakan, mengawasi dan mengevaluasi tindakan-tindakan yang diambil
untuk dapat menjamin bahwa publik tetap menjadi pusat dan tindakan-tindakan
pemeritah. Lebih jauh, Drechster (2005) mengingatkan bahwa rnenganggap
masyarakat hanya sebagai konsumen semata menyebabkan masyarakat dijauhkan dan
haknya untuk berpartisipasi.
Kritik lain
dikemukakan oleh Janet Denhardt dan Robert Denhardt dalam bukunya “The New
Public Services”. Menurut Denhardt dan Denhardt warga seharusnya metayani warga
masyarakat bukan pelanggan (service citizen, not customers), mengutamakan
kepentingan publik bukan private (seek the public interest), lebih menghargai
warga negara daripada kewirausahaan (value citizenship over entrepreneurship,
melayani daripada mengendatikan (serve rather than steer), dan menghargai orang
bukan semata-mata karena produktivitasnya (value people, not just
productivity).
3. The New Governance: Membangun
Jejaring antara Pemerintah dengan Aktor Iainnya
Pengertian dan good
governance dapat dilihat dan pemahaman yang dimiliki baik oleh IMF maupun World
Bank yang melihat Good Governance sebagai sebuah cara untuk
memperkuat “kerangka kerja institusional dan pemerintah” (Bappenas, 2002). Hal ini
menurut mereka berarti bagaimana memperkuat aturan hukum dan prediktibilitas
serta imparsialitas dan penegakannya (Bappenas, 2002). ini juga berarti
mencabut akar dan korupsi dan aktivitas-aktivitas rent seeking, yang
dapat dilakukan melal.ui transparansi din aliran informasi serta menjamin bahwa
informasi mengenal kebijakan dan kinerja dan institusi pemerintah dikumpulkan
dan diberikan kepada masyarakat secara memadai sehingga masyarakat dapat
memonitor dan mengawasi manajemen dan dana yang berasal. dan masyarakat
(Bappenas, 2002). Pengertian ml sejatan dengan endapat Bovaird and Loffler
(2003) yang rnengatakán bahwa good governance mengusung sejumlah isu
seerti: ketenlibtan stokeholder; cransparansi; agenda kesetaraan
(gender, etnik, usia, agama, dan Lainnya); etika dan perilaku jujur;
akuntabititas; serta keberlanjutan.
Paradigma The New
Governance menitikberatkan pada nilai-nilai yang menjunjung tinggi keinginan
dan kehendak rakyat, dan nilai-nilai yang dapat meningkatkan partisipasi
masyarakat dalam pencapain tujuan nasional dan keadilan sosial. Paradigma the
new Governance lahir untuk memberikan keseimbangan antara kuatnya semangat pnivat
di dalam Publik sektor dengan peran masyarakat dalam pembangunan dan pelayanan Publik.
Karya
terakhir yang memperkuat paradigma the new governance adalah The New Public
Sevices Serving rather than steering (Denhardt and Denhardt, 2002). Denhardt
dan Denhardt mengajukan kritik yang keras terhadap paradigma The New
Pubtic Management yang dianggapnya [ebih mengedepankan pasar dalarn pengetotaan
sektor Publik.
B. ISU-ISU ADMINISTRASI PUBLIK KONTEMPORER
Berdasarkan
pembahasan terhadap paradigma yang berkembang dalam Administrasi Publik, maka
terdapat sejumlah isu yang dapat dijelaskan sesual dengan perkembangan kekinian
(Zeitgeist). Isu-isu ini penting untuk segera direspons oleh para akademisi dan
praktisi administrasi Publik dalam pendidikan tinggi administrasi Publik.
1. Reformasi Administrasi
Di kebanyakan negara-negara berkembang yang sudah mengalami
transformasi ke negara maju, reformasi administrasi negara merupakan langkah awal
dan prioritas dalam pembangunan. Administrasi negara menjadi sektor pembangunan
(administrative Development) sekaligus menjadi instrumen penting
pembangunan (Development Ac’ininistration). Reformasi administrasi
negara di negara-negara tersebut pada umumnya dilakukan melalui dua strategi
yaitu; (1) merevitalisasi kedudukan, peran dan fungsi kelembagaan yang menjadi
motor penggerak reformasi Administrasi, dan (2) menata kembali sistem administrasi
negara baik dalam hal struktur, proses, sumber daya manusia (PNS) serta retasi
antara negara dan masyarakat.
Isu reformasi administrasi
ini sejalan dengan upaya untuk melakukan modernisasi administrasi pemerintahan.
Belajar dan pengataman beberapa negara, maka kunci dari keberhasilan
pembangunan bangsa adalah bagaimana merevitalisasi administrasi negara. Sebagai
contoh milsalnyaa Korea Selatan yang telah melakukan reposisi dan revitalisasi
peran administrasi negara sejak tahun 1980-an. Beberapa reformasi yang dilakukan
pada saat itu adalah melalui civil servant ethics act pada tahun 1981, civil
servant property registration, civil servant gifts control, civil servant
consciuosness reform movement, dan social purification movement (Hwang,
2004) Pada masa pemerintahan Rho Tae Woo tahun 1988, reformasi administrasi
negara diperkuat melalui deregutasi dan simplifikasi prosedur, restrukturisasi
pemerintah pusat dan penguatan peran komisi reformasi administrasi. Semua usaha
Korea Setatan untuk merevitatisasi administrasi negara tidaklah sia-sia, karena
hasilnya adalah efisiensi dan terciptanya Administrasi negara yang profesional,
bersih dan berwibawa, Beberapa isu dan agenda yang tengah berkembang dalam
kaitan dengan efonnasi birokrasi adal.ah: (1) Modernisasi Manajemen
Kepegawaian, (2) Restrukturisasi, downsizing dan iightsizing, perubahan
manajemen dan organsasi (3) Rekayasa Proses Administrasi Pemerintahan, (3)
Anggaran berbasis kinerja dan proses perencanaan yang partisipatif, (4) serta
hubungan-hubungan baru antara pemerintah dan masyarakat datam pembangunn dan
pemerintahan.
Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini menjadi sangat retevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem Birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar pelayanan Publik menghadapi masalah yang sangat fundamental. Pertama, sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang sekarang diterapkan. adalah peninggalan pemerintah kotonial. yang juga memiliki dasar-dasar hukum dan kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. warga negara (lihot Thoha: 2003). Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
Dalam konteks praktek pemerintahan di Indonesia, isu reformasi birokrasi ini menjadi sangat retevan utamanya datam mempercepat krisis multidimensi yang belum selesai. Sistem Birokrasi di Indonesia yang menjadi pilar pelayanan Publik menghadapi masalah yang sangat fundamental. Pertama, sebagai fakta sejarah bangsa sistem administrasi yang sekarang diterapkan. adalah peninggalan pemerintah kotonial. yang juga memiliki dasar-dasar hukum dan kepentingan kolonial. Struktur, norma, nilai dan regulasi yang ada masih berorientasi pada pemenuhan kepentingan penguasa daripada pemenuhan Hak Sipil. warga negara (lihot Thoha: 2003). Tidak mengherankan jika struktur dan proses yang dibangun merupakan instrumen untuk mengatur dan mengawasi perilaku masyarakat, bukan sebaliknya untuk mengatur pemerintah dalam tugas memberikan pelayanan kepada masyarakat. Misi utama administrasi negara dengan paham kolonial tersebut adalah untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perilaku individu.
Ketidakmampuan pemerintah untuk melakukan perubahan
struktur, norma, nilai dan regulasi yang berorientasi kolonial tersebut telah
menyebabkan gagalnya upaya untuk memenuhi aspirasi dan kebutuhan masyarakat.
Kualitas dan kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan Publik masih jauh dan
harapan. Masih belum tercipta budaya pelayanan Publik yang berorientasi kepada
kebutuhan pelanggan (service delivery culture). Sebaiknya, yang
terbentuk adalah obsesi para birokrat dan politisi untuk menjadikan birokrasi
sebagai lahan pemenuhan hasrat dan kekuasaan (power culture). Dalam
kultur yang demikian, korups, kolusi dan nepotisme menjadi hal yang umum,
sehingga kualitas pelayanan dan pemerintahan. seringkali terabaikan.
Dalam kaitan dengan reformasi birokrasi di Indonesia,
maka isu-isu yang terkait dengan dengan reformasi birokrasi dalam kerangka
tecritik dan perbandingan dengan negara lain harus menjadi baian yang tidak
terpisahkan kurikulum.
Ketiadaan komitmen dan paradigma tentang peran, kedudukan
dan fungsi administrasi negara dalam pembangunan negara telah menjadi penyebab
reformasi birokrasi di Indonesia tidak memiliki visi, kehilangan ruh dan berjalan
sangat sporadis. Sampai sekarang tidak terlihat bentuk atau grand design yang
diinginkan dalam rangka reformasi birokrasi, tidak adanya kemauan potitik dan
pemerintah. Semua bentuk reformasi yang dijalankan di negara lain diadopsi
tanpa satu tujuan yang terkait dan terintegrasi.
Ketidakpahaman ini telah menyebabkan tidak saja gagalnya
program pembangunan, tetapi juga marjinalisasi peningkatan kapasitas administrasi
negara sebagai agen pembangunan.
2. Desentralisasi
Isu lain yang berkembang secara teoritik dan praktek dalam
administrasi Publik adalah desentralisasi. Perkembangan isu desentralisasi ini terkait
dengan bantuan-bantuan negara asing dan lembaga-lembaga donor untuk memperkuat
proses demokratisasi. Sejatinya isu ini berkembang sudah .sejak lama bersamaan
dengan mengalirnya dana bantuan donor ke negara-negara berkembangan. Meskipun demikian, pada saat ini isu tersebut semakin
kuat dan dirasakan perlu dalam konteks Indonesia. Terlebih bahwa hubungan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sesuatu yang dinamis dan tidak
berada dalam ruang yang vacum.
Pasang surut hubungan antara Pusat dan Daerah, sejatinya
selalu
mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Pernesta juga sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino
gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang tetah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil. meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah.
mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia (lihat Mackie, 1980:671). Bahkan sejak kita merdeka, berbagai gerakan separatis yang muncul di daerah seperti PRRI dan Pernesta juga sangat terkait dengan aspek vertical distribution of power. Pergolakan tersebut merupakan reaksi terhadap kekuatan sentripetal yang berlebihan dalam penyelenggaraan negara (Hoessein, 1995:12). Pasca jatuhnya Soeharto tahun 1998, hubungan antara Pusat dan Daerah memiliki ancaman sekaligus harapan. Menjadi ancaman karena berbagai tuntutan yang mengarah kepada disintegrasi bangsa semakin besar. Gerakan sentrifugal masih sangat dirasakan, bahkan dalam MOU Helsinki yang menghasilkan UU Pemerintahan Aceh (Prasojo, 2005:22). Efek domino
gerakan sentrifugal ini menurut saya tidak berhenti, melainkan akan terus berlanjut sampai ditemukannya titik keseimbangan baru antara pusat dan daerah. Pada sisi lainnya, pasca kejatuhan Soeharto juga memberikan harapan pada kemungkinan terjadinya perubahan huhungan kekuasaan antara Pusat dan Daerah. Hal ini terbukti dengan ditetapkannya UU No. 22 tahun 1999, yang tetah direvisi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Kedua UU ini secara radikal telah merubah corak hubungan antara Pusat dan Daerah di Indonesia. Dalam perspektif politik, UU No. 22 tahun 1999 dapat dikatakan berhasil. meredam gerakan sentrifugal yang terjadi di daerah.
Desentratisasi yang merupakan refleksi hubungan antara
pusat dan daerah terus akan bergulir dalam proses demokratisasi. Administrasi Publik
berperan penting untuk ikut menentukan konstruksi hubungan pusat dan daerah di
Indonesia, juga ikut membangun kapasitas pemerintahan daerah. Karena isu ini
bukan isu sesaat tetapi isu yang terus dan akan berlanjut dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Dalam isu ini terkandung substansi yang sangat luas
terutama untuk mencipatkan pemerintahan yang efisien dan efektif, juga untuk
meriingkatkan proses demokrasi di tingkat lokal.
Hasil penelitian di lapangan terhadap 14 kabupaten dan
kota juga propinsi yang dilakukan penulis menunjukkan banyaknya ketidaksetaraan
politik (political equality) antar berbagai stakeholdes dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Pada dasarnya ketidaksetaraan tersebut meliputi relasi
antara kepala daerah dan DPRD, ketidaksetaraan relasi antara pemerintah daerah
dan masyarakat, ketidaksetaraan antara pemerintah daerah dan pemerintah pusat, antara
KPUD, Pemerintah Daerah dan masyarakat dalam pelaksanaan pilkada.. Berbagai
bentuk ketidaksetaraan tersebut telah menyebabkan sulitnya peningkatan
partisipasi masyarakat dalam proses-proses pembuatan kebijakan dan keputusan politik
serta kontrol atas pengunaan resources di daerah. Ketidaksetaraan ini
menyebabkan efek berantai berupa sulitnya pencapaian local responsiveness dan
local acountability dalam penyelenggaraan pemerintahan. Dalam kaitan ini
administrasi Publik harus mengisi kapasitas pemerintahan daerah untuk membangun
dan menjalankan pemerintahan.
3. Kualitas Petayanan Publik
Isu yang cukup penting dan menghiasi literatur dalam administrasi
Publik adalah peningkatan kualitas pelayanan Publik. Meskipun ini terkait ini
dengan reformasi birokrasi, tetapi dalam pandangan penulis isu ini memiliki dimensi
software yang harus mendapatkan perhatian tersendiri dalam kajian administrasi Publik.
Perkembangan paradigma New Public Management telah memasukkan unsur-unsur dan
metode sektor swasta dalam sektor Publik. Hal ini misalnya
dapat dilihat dalam berbagai literatur yang terkait dengan judul-judul. buku
dan seminar “Performance Management in Public Services, Building Partnership
for Public Service, E-government, Public Private Partnership, the New Public
Services, Reeinventing Government, Improved Public Service” dan berbagai judul lainnya.
Berbagai
hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam peningkatan kualitas pelayanan Publik
adalah bagaimana membangun semangat dan jiwa entrepreneurship dalam
pemerintahan dan serta perubahan peran negara dalam pelayanan Publik. Improvisasi pelayanan Publik ini dilakukan antara lain melalui
rasionalisasi proses dan profesionalisasi kinerja PNS. Metode yang dipergunakan antara lain melalui Kontrak Kinerja,
Privatisasi, Kemitraan Publik dan swasta, pemanfaatan teknologi informasi dan
komunikasi dalam pelayanan Publik. Berbagai strategi
pelayanan Publik telah menjadi alternatif antara lain dengan apa yang disebut
Market Oriented Enabling Authority, Communitas Enhler Authority, Residual
Enabler Authority clan atau metode (ama TraditionaL Bureacucratic Control
Authority.
Dalam
konteks kebijakan internasional, Indonesia tetah meratifikasi
Covenant Ecosob sebagai jaininan legal dalam pemberian pelayanan Publik
kepada masyarakat. Disamping itu, saat ini Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
Pelayanan Publik yang sebentar lagi akan dibahas di DPR.
Covenant Ecosob sebagai jaininan legal dalam pemberian pelayanan Publik
kepada masyarakat. Disamping itu, saat ini Kementrian Pendayagunaan
Aparatur Negara juga sedang mempersiapkan Rancangan Undang-Undang
Pelayanan Publik yang sebentar lagi akan dibahas di DPR.
Meskipun demikian, praktek New Public Management yang berupaya
untuk meningkatkan kualitas pelayanan Publik tidaklah tanpa kritik. Denhardt
and Denhardt, Juga Georger Frederickson mengingatkan hilangnya kharakter keseteraan
dalam pelayanan Publik. Dimana masyarakat yang berstatus sosial ekonomi rendah
seringkali secara mudah terabaikan. Dalam kaitan ini perlu juga kalangan akademisi
public administration memberikan formula yang lebih konstektual denqan kondisi
Indonesia.
4. Good Governance
Sesuai dengan perkembangan paradigma Good
Governance dalam Administrasi Publik maka, isu Governance menjadi
kunci pembahasan daam administrasi Publik. Hal ini terkait dengan upaya untuk menciptakan
akses partisipasi masyarakat dalam pelayanan Publik dan penyelenggaraan pemerintahan.
Penguatan partisipasi ini bertujuan untuk meningkatkan efek lain berupa
akuntabilitas dan transparansi dalam pemerintahan, pelayanan dan pembangunan.
Dalam konteks ini Governance diartikan sebagai suatu
hubungan yang interakti. dan berbasis pertukaran informasi antara berbagai
pemangku kepentingan dalam pemerintahan. Pemerintah bukanlah satu-satunya
pemangku kepentingan pemerintahan, melainkan juga harus melibatkan masyarakat
dan kelompok-kelompok kepentingan lainnya. Penguatan partisipasi
dilakukan melalui antara lain apa yang disebut dengar Citizen’s Charter dan
Complain Mechanism. Melalui penguatan partisipasi masyarakat dalam pelayanan Publik
pemerintah harus memiliki kinerja dan orientasi pemenuhan hak-hal. sipil masyarakat.
Dan melalui mekanisme pengaduan, masyarakat dapat menyampaikan keberatan-keberatan
dan masukan terhadap kinerja pemerintah. Dalam hal ini Kementrian Negara
Pendayagunaan Aparatur Negara tengah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang Administrasi
Pemerintahan yang memberikan penguatan terhadap kedudukan pemerintah.
5. Globalisasi dan Iniltenium
Development Goals dan ECOSOB
isu lain yang merupakan faktor eksternal adalah
menguatnya globalisasi dan regionalisasi. Hal ini antara lain menyebabkan
berkurangnya peran dan otoritas negara dalam pembuatan kebijakan. Sehingga
kebijakan-kebijakan yang. dibuat oleh pemerintah harus memperhatikan covenant,
prinsip-prinsip dan kesepakatan internasional lainnya yang telah diratifikasi.
Termasuk dalam hal ini adalah misalnya perjanjian perdagangan internasional,
WTO, perjanjian internasional tentang pemberantasan korupsi, dan covenant
ECOSOB. Perkembangan lainnya adalah pencanangan millenium Development Goals
yang harus dipenuhi oleh pemerintah. Dalam MDGs ini pemerintah harus memberikan
penguatan kepada masyarakat untuk lepas dari kemiskinan struktural yang
terjadi. Dengan demikian isi ini juga akan mempengaruhi kebijakan-kebijakan
yang akan dibuat oleh pemerintah.
6. Kebijakan Publik
Yang juga menjadi isu dalam administrasi publik adalah
terkait dengan proses penyusunan kebijakan Publik yang harus semakin baik dan
kondusif bagi pelayanan, pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal ini terkait
dengan proses penyusunan kebijakan yang semakin partisipatif dengan berbagai
pendekatan. Masyarakat sebagai penerima kebijakan harus menjadi aktor yang
aktif dalam kebijakan publik. Pada sisi lainnya, isu ini juga terkait dengan
proses potitik yang terjadi di Parlemen dalam kaitanya dengan Pemerintahan.
Perubahan sistem parlementer ke sistem presidensial di Indonesia memberikan
tantangan tersendiri dalam kebijakan Publik. Hal ini karena sistem birokrasi yang masih terkooptasi dengan politik, proses
political merit system yang belum terbangun, dan sistem multi party. Respon administrasi
Publik terhadap perubahan sistem politik dalam kebijakan Publik harus semakin
rasional dan profesional.
Untuk memperkuat proses pembuatan kebijakan Publik perlu
kirang dikembangkan metode/toots yang aplikatif. Misalnya pemanfaatan
software-software kebijakan Publik yang dapat merasionalisasi secara
kuntitatif. Penguasaan metode decision support system (seperti AHP dan System
Dynainic) harus dikuasai dalam oleh para pembuat kebijakan. Termasuk adalah
penguasaan metode system thinking dan system dynainic untuk memperkuat proses
pembuatan keputusan. Perkembangan baru seperti knowledge management harus
menjadi kurikulum dalam administrasi Publik.
7. Hukum Administrasi Negara
Isu lainnya yang relevan dengan kajian administrasi Publik
adalah Hukum Administrasi Negara. Kedua bidang ilmu ini sejatinya memiliki
hubungan yang sangat dekat sebagaimana telah menjadi tradisi dalam administrasi
publik di negara-negara Eropa Kontinental. Sulitnya melakukan reformasi dalam
administrasi Publik disebabkan juga oleh lemahnya integrasi antara Administrasi
Publik dengan Hukum Administrasi Negara.
Padahal perubahan Administrsi Publik juga membutuhkan
perubahan perangkat keras Hukum Administrasi Negara. Para ilmuwan administrasi Publik
generasi kedua dan ketiga di Indonesia kurang memahami konteks hukum administrasi
negara. Hal ini berbeda dengan ilmuwan administrasi Publik generasi pertama seperti
Prof. Prajudi Atmosudirdjo. Oleh karena itu, sudah saatnya memikirkan kembali perubahan
kurikulum administrasi Publik yang berorientasi juga pada kajian Hukum Administrasi
Negara dalam kaitannya dengan studi administrasi Publik.
C. NEGARA, PEMERINTAH DA ADMINISTRASI NEGARA
Administrasi Publik
di Indonesia mengalami persoalan krusial karena sulitnya memisahkan antara
negara (Stoat), pemerintah (Regierung) dan Administrasi
Publik (Verwaltung). Di Indonesia ketiganya seakan-akan bersatu sehingga sulit rnembedakan secara benar penggunaan dan fungsi negara, pemerintah dan administrasi. Kajian pemisahan unsur-unsur negara ini kurang mendapatkan perhatian sehingga seringkali pekerjaan administrasi Publik dengan mudah diintervensi oleh pemerintah.
Publik (Verwaltung). Di Indonesia ketiganya seakan-akan bersatu sehingga sulit rnembedakan secara benar penggunaan dan fungsi negara, pemerintah dan administrasi. Kajian pemisahan unsur-unsur negara ini kurang mendapatkan perhatian sehingga seringkali pekerjaan administrasi Publik dengan mudah diintervensi oleh pemerintah.
Presiden adalah
kepala negara dan kepala pemerintahan, sekaligus kepala administrasi. Tetapi fungsi
ini harus dapat dipisahkan dengan baik, karena negara adalah bukan hanya
pémerintah. Demikian pula pemerintah yang dipilih secara demokratis dan administrasi
Publik yang diangkat dan bekerja berdasarkan Undang-undang harus terdapat
pembagian fungsi dan peran yang tegas. Tentu saja dalam pengertian yang luas
ruang linkup kajian administrasi Publik dapat meliputi negara, pemerintah dan
administrasi Publik. Tetapi dalam kehidupan praktek administrasi Publik perlu
dipikirkan upaya untuk mempertegas garis batas antara negara, pemerintah dan administrasi
Publik. Beban berat administrasi Publik untuk melaksanakan keputusan-keputusan
politik seringkali disebabkan oleh tidak tegasnya garis antara negara,
pemerintah dan masyarakat.
D. PENUTUP
Ilmu administrasi
Publik telah mengalami perkembangan yang terus-menerus. Peruhahan tersebut
terjadi baik pada lokus dan fokus. Apakah pendidikan tinggi di Indonesia telah
merespon perubaan tersebut dataran kurikulum dan metode pembelajaran. Apakah administrasi
Publik telah berkontribusi dalam penyelesaian masalah-masalah adminsitrasi Publik
dan juga masalah-masalah negara dan bangsa yang tengah terjadi. Dalam pandangan
penulis, kontribusi ilmu administrasi Publik masih belum optimal dalam
menyelesaikan masalah bangsa dan negara ini. Hal ini dapat terjadi karena dua
hal (1) Kurikulum dan metode pembelajaran Ilmu administrasi Publik yang belum
responsif terhadap perubahan lingkungan, (2) pengembangan diri dan jaringan
yang belum optimal dan kalangan ilmuwan, alumni dan praktisi administrasi Publik.
DAFTAR
KEPUSTAKAAN
BAPPENAS, 2002, Public Good Governance: Sebuah Paparan Singkat, Jakarta:
Sekretariat Pengembangan Public Good Governance BAPPENAS
___________—,
2005, Penerapan Tata Kepemerintahan yang Balk: Good Public Governance in
Brief, Jakarta:
Sekretariat Pengembangan Keijakan Nasional Tata Pemerintahan yang Balk BAPPENAS
Bovaird, Tony
and Elke Loffler (Eds.), 2003, Public Management and Governance, New York: Routledge
Denhardt,
Robert B, 2002, The New Public Service. Serving, not Steering, M.E. Sharpe, New York.
Drechsler,
Wolfgang, 2005, “The Rise and Deinise of the New Public
Management”, post-autistic econoinics review, Issue No. 33, Available
Online: http: / /www. paecon. net! PAEReview/issue33/ Drechsler33.htm [6
November 2006]
Management”, post-autistic econoinics review, Issue No. 33, Available
Online: http: / /www. paecon. net! PAEReview/issue33/ Drechsler33.htm [6
November 2006]
Dwiyanto,
Agus, dkk, 2003, Reformasi Tata Pemeriritahari don Otorioini Daerah, Yogyakarta: Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan
Universitas Gadjah Mada
Econoinic and Social Council United Nations, 2004, “Revitalizing public
administration as a strategic action for sustainable human development:
an overview”, Report of the Secretariat, Available Online: http://unpani - un.orintradoc/groups/public/documents/un/ypn01 51 05.pdf [6 November 2006]
Econoinic and Social Council United Nations, 2004, “Revitalizing public
administration as a strategic action for sustainable human development:
an overview”, Report of the Secretariat, Available Online: http://unpani - un.orintradoc/groups/public/documents/un/ypn01 51 05.pdf [6 November 2006]
Ewalt, Jop Ann
G, 2001, “Theories of Governance and New Public Management:
Links to Understanding Welfare Policy Implementation”, paper prepared for presentation at the Annual Conference of the American Society for
Public Administration, Available Online: http://unpan1 .un.org/intradoc/groups/pubtic/documents/ASPA/ UN 00563.pdf [6 November 2006]
Links to Understanding Welfare Policy Implementation”, paper prepared for presentation at the Annual Conference of the American Society for
Public Administration, Available Online: http://unpan1 .un.org/intradoc/groups/pubtic/documents/ASPA/ UN 00563.pdf [6 November 2006]
Fredcrickson,
H. George, 2004, “Whatever Happened to Public Administration Governance,
Governance Everywhere”, Working Paper, QU/GOV/ 3/2004, Institute of
Governance Public Policy and Social Research, Queen’s
University, Available Online: http://www.governance.gub.ac.uk/bp200pdf [6 November 2006]
University, Available Online: http://www.governance.gub.ac.uk/bp200pdf [6 November 2006]
Hood, C., 1994,
Explaining Econoinic Policy Reversals, Buckingham, Open University Press.
Notan, Brndan
C (Editor), 2001, Public Sector Reform: An International PerspEctive, Hampshire:
Palgrave MacInillan
Oliver, Dawn
arid Gavin Drewry, 1996, Public Service Reforms: Issues of Accountability
and Public Law, London:
Pinter
Oluwu, Dele,
2002, “Introduction New Public Management: An African Reform Paradigm?”, Africa
Development, Vol. XXVII, No. 3 Et 4, Availabt Online: http://www.
codesria. org/Links / Publications/ ad304/oLowipf [6 November 2006]
Pollitt,
Christopher and Geert Bouckaert, 2000, Public Management Reform: A
Comparative Analysis, Oxford: Oxford University
Press
Prasojo, Eko,
2003, “Agenda Politik dan Pemerintahan di Indonesia:
Desentratisasi Pobtik, Reformasi Birokrasi dan Good Governance”, Bisnis & Birokrasi, Vol. XI, No.1, Januari
Desentratisasi Pobtik, Reformasi Birokrasi dan Good Governance”, Bisnis & Birokrasi, Vol. XI, No.1, Januari
Prasojo, Eko,
Teguh Kurniawan dan Azwar Hasan, 2004, Ref ormasi Birokrasi dalom Praktek:
Kasus di Kabupaten Jembrana, Depok: Pusat Kajian Pembangunan Administrasi
Daerah dan Kota
Prasojo, Eko,
Irfan Ridwan Maksum and Teguh Kurniawan, 2006, Desentralisasi a Pemerintahan
Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal dan Efisiensi Struktural, Depok:
Departemen Itmu Administrasi FISIP UI
Samaratunge,
Ramanie and Lynne Bennington, 2002, “New Public Management:
Challenge for Sri Lanka”, Asian Journal of Public Administration, Vol. 24, No, 1, June, Available Online:http:// unpani.un.org/ intradoc/groupsfpJbLic/ documents/ ApCITy/UNPAN/020779.pdf [6 November 2006]
Challenge for Sri Lanka”, Asian Journal of Public Administration, Vol. 24, No, 1, June, Available Online:http:// unpani.un.org/ intradoc/groupsfpJbLic/ documents/ ApCITy/UNPAN/020779.pdf [6 November 2006]
Shafritz, Jay
M and Albert C Hyde (Eds.), 1997, Classics of Public Administration, Fourth
Edition, Fort Worth: Hartcourt Brace
College PubLishers.
Wallis, Joe L., Dollery, Brian, Mcloughlin, Linda, 2007, Reform and Leadership in the Public Sector, Edward Elgar Publishing, Massachussets.
Wallis, Joe L., Dollery, Brian, Mcloughlin, Linda, 2007, Reform and Leadership in the Public Sector, Edward Elgar Publishing, Massachussets.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar